Senin, 30 Agustus 2010

Hidup sehat dengan memaafkan

Menyimpan dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih buruk lagi, hal itu akan berdampak langsung pada kesehatan Anda. Riset terbaru menyebutkan, menyimpan dendam dan kebencian menyebabkan tekanan darah tinggi yang lantas bisa berujung pada penyakit stroke, gagal jantung, bahkan kematian.

Dalam momen yang masih bernuansa Idul Fitri seperti sekarang ini, agaknya memang tepat digunakan untuk saling bermaafan. Namun tentu saja bukan berarti kebiasaan tersebut hanya bisa dilakukan saat Idul Fitri. Selain dianjurkan oleh ajaran setiap agama, saling memaafkan juga sangat baik untuk menunjang kesehatan.

Para ahli psikologi dari Universitas Tennesse menemukan kesimpulan bahwa sikap memaafkan bisa menurunkan tekanan darah dan ketegangan serta mengurangi stres.

Psychology Today, Minggu (27/9/2009) melansir, memendam rasa marah dan tidak mau memaafkan orang lain akan berakibat pada terganggunya fungsi kekebalan tubuh.

Dalam temuan tersebut, diketahui bahwa otak si pendendam memperlihatkan aktivitas yang sama dengan yang dialami seseorang yang tengah mengalami stres, marah dan agresif.

Hal ini memicu datangnya berbagai penyakit seperti asma, sakit kepala, darah tinggi, insomnia bahkan serangan jantung.

"Kami meneliti 107 mahasiswa dengan menggunakan perangkat pencitraan otak berteknologi tinggi yang memanfaatkan temografi emisi position dan resonansi magnetic fungsional. Dari situ dapat diketahui perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak bisa memaafkan," kata salah satu peneliti Kathleen Lawler.

Temuan Lawler dan timnya itu juga memperlihatkan adanya ketidaksamaan aktivitas hormon dan kondisi darah orang pemaaf jika dibandingkan dengan si pendendam.

Hormon dan komposisi zat kimia dalam darah si pendendam berhububungan dengan pola hormon emosi negatif yang mengarah pada pembentukan emosi saat stres. Itu sebabnya, sikap pendendam akan mempengaruhi tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi.

sumber www.infospecial.com
TIAP orang bisa marah. Marah memang emosi alamiah manusia. Idealnya, kita mampu menempatkan level kemarahan pada porsinya. Tapi tak jarang, kita justru dikuasai amarah hingga tak bisa mengendalikan diri.

Rasanya, kita sudah berupaya keras mengendalikan kemarahan dengan tidak mengekspresikannya, atau bahkan dengan cara lebih baik, yakni tidak menggubrisnya. Namun tak jua meredakan amarah.

Nasihat yang sudah sangat akrab di telinga yakni “menghitung 1-10” sering kali kita ikuti. Tapi, mengapa kemarahan tetap tak terkendali? Inilah beberapa strategi yang cukup efektif untuk mengendalikan kemarahan Anda, seperti dilansir Shine.

Jangan ekspresikan rasa marah

Banyak orang percaya pada hipotesis kartasis (meluapkan amarah dengan berbagai cara untuk meringankan kemarahan dalam diri) dan pemikiran bahwa mengekspresikan kemarahan adalah menyehatkan mental dan memulihkan perasaan mereka.

Tapi nyatanya tidak selalu demikian. Berbagai kajian menunjukkan bahwa mengekspresikan kemarahan justru menambah kemarahan. Akan lebih baik kalau Anda bersikap tenang.

Tunggu hingga esok pagi

Anda kesal dengan sikap pasangan saat lupa bahwa malam tadi Anda berulang tahun. Daripada mengumbar kemarahan saat ia tengah capek pulang kantor, lebih baik tunda protes Anda hingga keesokan hari. Siapa tahu, esok pagi kemarahan Anda sudah hilang sehingga Anda bisa menyampaikan kekesalan dengan cara yang santun.

Cermin diri

Kita tentu tidak suka dalam posisi tersudut dan disalahkan atas pekerjaan yang sudah kita tunaikan dengan sempurna. Namun, dalam rangkan mengelola emosi, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah saya salah?” dan merespons kritik orang lain dengan lebih baik.

Tertawa

Humor dan olahraga adalah jawaban atas segala permasalahan. Saat rasa marah mendera, cobalah ingat kejadian lucu untuk menghibur diri sendiri.

Cara lainnya, sampaikan kekesalan dengan kata-kata yang lebih halus. Daripada mengatakan, “Bisakah kamu menjawab e-mail saya, jadi saya bisa segera menyelesaikan semua tumpukan pekerjaan ini?” lebih baik katakan, “Saya berkhayal ada beo di ruangan kerjamu dan terus berceloteh sampai kamu mengirimkan e-mail balasan ke saya.”

Keuntungan lain meredakan amarah lewat pendekatan tersebut adalah, tak peduli bagaimanapun orang lain merespons, kemarahan Anda akan terkurangi dan merasakan hati lebih lega.

sumber (okezone)

SPIRIT KITA

AWALNYA DARI PIKIRAN

Sebenarnya kita mempunyai pengetahuan dan kemampuan secara rohaniah/batiniah sebagai bekal untuk menghadapi bebagai tantangan dalam menjalani kehidupan.

Namun kemampuan yang ada dalam diri kta ini tidak pernah digali dan dikembangkannya. Akibatnya, bilamana kita mendapatkan kesulitan, kecemasan dan kegelisahan dibiarkan mendera diri kita sendiri sampai akhirnya menyebabkan pikiran kita sakit dan stress.

Bilamana “pikiran” kita dalam keadaan tenang, kemampuan dan potensi yang ada di dalam diri kita ini sebenarnya dapat difungsikan.

Memerdekakan “pikiran” adalah salah satu perjalanan untuk membersihkan masalah-masalah yang ada di dalam “pikiran” kita.

Diri kita sering dipermainkan oleh “pikiran” kita sendiri. Pikiran kita secara liar bermain kesana-kemari membuat rencana-rencana, membuat cita-cita, membuat mimpi-mimpi, yang semuanya itu hanyalah angan-angan yang belum tentu dapat dicapai. Malah angan-angan tersebut sangat mengganggu pada “pikiran” kita sendiri.

Pikiran sangat penting bagi gerak-hidup jasmani, karena pikiranlah yang menggerakan jasmani kita; namun, "pikiran" ini harus dapat kita kendalikan dengan baik. Jika "pikiran" ini dibiarkan bebas (liar), maka “pikiran” ini akan bermain kesana-kemari tanpa terkendali. Pikiran adalah wadah dari semua masalah-masalah pada saat ini, atau masalah-masalah pada masa lalu yang terjadi dan terekam oleh otak.

Fungsi "pikiran" manusia sebagai wadah masalah sangatlah terbatas kapasitasnya; maka, untuk dapat memfungsikan “pikiran” sesuai dengan kapasitasnya, "pikiran" tersebut jangan terlalu banyak menyimpan masalah-masalah.

Dengan jalan “memerdekakan pikiran” (menenangkan pikiran) kita dapat memfungsikan “pikiran” dengan baik dan bermoral. Bekerjasamalah antara “rohani” dan “jasmani” dalam mengendalikan "pikiran". Dan bilamana “rohani” dan “jasmani” dapat bekerjasama dengan baik, maka "pikiran" kita tidak akan terganggu oleh hal-hal yang negatif.

" Diri kita bukan korban dari pikiran, pendapat, atau keyakinan negatif; baik dari diri sendiri maupun dari kesadaran orang lain. Kita hidup dengan pemikiran yang benar milik kita sendiri. "



“ Hidup di dunia ini pada saat ini, bukan kemarin, dan bukan esok-lusa. Berbuatlah dan bekerjalah untuk saat ini, karena hidup itu saat ini. Yang lalu biarlah berlalu, yang akan datang biarlah menunggu. Hidup kita itu benar-benar bukan dibangun oleh lamunan dan angan-angan, tetapi dibangun oleh bekerja dan bekerja. “



" Kita mencintai Tuhan dan dicintai Tuhan. Kita adalah faktor positif dalam kehidupan. Pengalaman kemarin dan harapan masa depan adalah merupakan realitas. Kita dalam kehidupan yang baru. batin yang baru, dan pikiran yang baru."

sumber http//:kecerdasan spiritual.com

MEMAHAMI KECERDASAN EMOSI

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi atau dikenal dengan istilah Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. EI ini tidak saling bertabrakan dengan IQ karena memang punya wilayah 'kekuasaan' yang berbeda. IQ umumnya berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis, dan diasosiasikan dengan otak kiri. Sementara, EI lebih banyak berhubungan dengan perasaan dan emosi (otak kanan). Kalau ingin mendapatkan tingkah laku yang cerdas maka kemampuan emosi juga harus diasah. Karena untuk dapat berhubungan dengan orang lain secara baik kita memerlukan kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi diri dan orang lain secara baik. Di sinilah fungsi dari kecerdasan emosi.
EI bukan merupakan bakat, tapi aspek emosi di dalam diri kita yang bisa dikembangkan dan dilatih. Jadi setiap orang sudah dianugerahi oleh Tuhan kecerdasan emosi. Tinggal sejauh mana pengembangannya, itu tergantung kemauan kita sendiri. Satu yang pasti, EI kita akan terbentuk dengan baik apabila dilatih dan dikembangkan secara intensif dengan cara, metode dan waktu yang tepat.
Ada lima wilayah utama dalam EI, yakni : mengenali emosi diri, mengendalikan emosi diri, memotivasi diri, mengenali emos orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. EI yang baik akan mampu memaksimalkan prestasi kita. Kita bisa bekerja efektif dalam sebuah tim, bisa mengenali dan mengendalikan emosinya sendiri dan orang lain dengan tepat. Umumnya, orang yang memiliki EI tinggi akan terlihat bahagia dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Aspek - aspek kecerdasan emosi menurut Rakhmat, 1985 adalah sebagai berikut :
a. Pengelolaan diri
Mengandung arti bagaimana seseorang mengelola diri dan perasaan-perasaan yang dilaminya.
b. Kemampuan untuk memotivasi diri
Kemampuan ini berguna untuk mencapai tujuan jangka panjang, mengatasi setiap kesulitan yang dialami bahkan untuk melegakan kegagalan yang terjadi.
c. Empati
Empati ini dibangun dari kesadaran diri dan dengan memposisikan diri senada, serasa dengan emosi orang lain akan membantu anda membaca dan memahami perasaan orang lain tersebut.
d. Ketrampilan sosial
Merupakan ketrampilan yang dapat dipelajari seseorang semenjak kecil mengenai pola-pola berhubungan dengan orang lain.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Walgito (1993) membagi faktor yang mempengruhi pesepsi menjadi dua faktor yaitu :
a. Faktor Internal.
Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstemal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi dan 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan.

Sumber http//:teoriI psikologi.blogspot.com